Ada yang bilang “takdirTuhan kadang kala tak bisa dinalar”, kiranya ungkapan itu harus ditinjau ulang,
sebab jika kita “berani menelanjangi” diri kita sendiri, niscaya kita akan dengan
lantang mengatakan “ada hikmah di balik semua yang terjadi pada kita”.
Hikmah. Laksana mainan
bagi anak kecil yang sedang merengek, jika kita belum berani ngatain
diri kita sendiri. Jujur terhadap diri sendiri merupakan kunci untuk meraih hikmah
di balik takdir yang kita jalani, sebab manusia (seluruh makhluk dalam tatanan
kosmos) pada hakikatnya sedang berjalan di atas lintasan-lintasan takdir yang
sejak semula telah diciptakan, bahkan sebelum manusia (makhluk) itu tercipta.
Kejujuran yang demikian
itu merupakan standar minimal agar kita tidak mudah terpuruk dalam kesedihan,
jika takdir yang sedang kita lalui bertolak belakang dengan kemauan dan harapan
kita. Lebih lanjut, yang paling bijaksana adalah kembali pada kesadaran awal
untuk apa kita tercipta.
Makhluk tercipta pada
hakikatnya untuk berserah dan menyembah Tuhan. Untuk meningkatkan kualitas
kepasrahan dan penyembahan tersebut, Tuhan memberikan hati (nurani), akal
(pikiran) dan ego (nafsu) yang berbeda pada masing-masing makhluk. Akal sebagai
alat untuk memilih dan menimbang berdasarkan “untung” dan “rugi” yang
didapatkan si empunya; ego (nafsu) adalah kecenderungan untuk berbuat apa yang
“menguntungkan” dan “menyenangkan”, dia lebih berpijak pada “senang” dan “tidak
senang” bagi si empunya; sedangkan hati (nurani) adalah jembatan antara akal
(pikiran) dan ego (nafsu), ia mampu menyeselaraskan keduanya, ia mengalir dari
hulu ketuhanan dan bermuara di samudra kemanusiaan.
Cinta, toleransi,
tenggang rasa dan saling menghargai adalah anak asuh hati (nurani), segala yang
mengarah pada keselarasan dan keseimbangan kebanyakan bersumber pada hati
(nurani) ini. Ia mendambakan perdamaian dan ketenangan dalam kehidupan ini.
Namun tak jarang kita tertipu dan tidak bisa membedakan antara hati (nurani) dengan
akal (pikiran); dan antara hati (nurani) dengan ego (nafsu).
Sekali lagi keberadaan
tiga pemberian Tuhan tersebut sebagai fasilitas untuk kelangsungan tugas kita
sebagai salah satu makhluk-Nya, kita berhak memanfaatkan fasilitas tersebut
semaksimal mungkin. Masing-masing dari fasilitas tersebut pada akhirnya
pengarah pada satu entitas, yaitu Tuhan, tentunya dengan jalan dan konsekuensi
yang berbeda-beda. Kembali pada diri kita, fasilitas dari Tuhan yang mana yang
hendak kita pupuk dan tanamkan pada kepribadian kita sebagai makhluk yang
bertuhan dan bersosial. Semua adalah hilmah di balik takdir Tuhan.
Pilihan di tangan
anda....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar