Minggu, 30 Juni 2013

Hikmah di Balik Takdir Tuhan

Ada yang bilang “takdirTuhan kadang kala tak bisa dinalar”, kiranya ungkapan itu harus ditinjau ulang, sebab jika kita “berani menelanjangi” diri kita sendiri, niscaya kita akan dengan lantang mengatakan “ada hikmah di balik semua yang terjadi pada kita”.

Hikmah. Laksana mainan bagi anak kecil yang sedang merengek, jika kita belum berani ngatain diri kita sendiri. Jujur terhadap diri sendiri merupakan kunci untuk meraih hikmah di balik takdir yang kita jalani, sebab manusia (seluruh makhluk dalam tatanan kosmos) pada hakikatnya sedang berjalan di atas lintasan-lintasan takdir yang sejak semula telah diciptakan, bahkan sebelum manusia (makhluk) itu tercipta.

Kejujuran yang demikian itu merupakan standar minimal agar kita tidak mudah terpuruk dalam kesedihan, jika takdir yang sedang kita lalui bertolak belakang dengan kemauan dan harapan kita. Lebih lanjut, yang paling bijaksana adalah kembali pada kesadaran awal untuk apa kita tercipta.
Makhluk tercipta pada hakikatnya untuk berserah dan menyembah Tuhan. Untuk meningkatkan kualitas kepasrahan dan penyembahan tersebut, Tuhan memberikan hati (nurani), akal (pikiran) dan ego (nafsu) yang berbeda pada masing-masing makhluk. Akal sebagai alat untuk memilih dan menimbang berdasarkan “untung” dan “rugi” yang didapatkan si empunya; ego (nafsu) adalah kecenderungan untuk berbuat apa yang “menguntungkan” dan “menyenangkan”, dia lebih berpijak pada “senang” dan “tidak senang” bagi si empunya; sedangkan hati (nurani) adalah jembatan antara akal (pikiran) dan ego (nafsu), ia mampu menyeselaraskan keduanya, ia mengalir dari hulu ketuhanan dan bermuara di samudra kemanusiaan.

Cinta, toleransi, tenggang rasa dan saling menghargai adalah anak asuh hati (nurani), segala yang mengarah pada keselarasan dan keseimbangan kebanyakan bersumber pada hati (nurani) ini. Ia mendambakan perdamaian dan ketenangan dalam kehidupan ini. Namun tak jarang kita tertipu dan tidak bisa membedakan antara hati (nurani) dengan akal (pikiran); dan antara hati (nurani) dengan ego (nafsu).

Sekali lagi keberadaan tiga pemberian Tuhan tersebut sebagai fasilitas untuk kelangsungan tugas kita sebagai salah satu makhluk-Nya, kita berhak memanfaatkan fasilitas tersebut semaksimal mungkin. Masing-masing dari fasilitas tersebut pada akhirnya pengarah pada satu entitas, yaitu Tuhan, tentunya dengan jalan dan konsekuensi yang berbeda-beda. Kembali pada diri kita, fasilitas dari Tuhan yang mana yang hendak kita pupuk dan tanamkan pada kepribadian kita sebagai makhluk yang bertuhan dan bersosial. Semua adalah hilmah di balik takdir Tuhan.

Pilihan di tangan anda....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar